Don’t Jude a Book by It’s Cover
Sebuah
kereta malam melaju di bawah terangnya sinar rembulan. Di dalamnya, terdapat
seorang remaja berumur sekitar 14 tahun bersama ayahnya yang sudah tua renta.
Sang anak duduk di pingir jendela sembari melihat ke luar jendela. Anak
tersebut berkata pada ayahnya, “Ayah, gelap sekali ya malam hari ini.” Sang
ayah tersenyum sambil menatap anaknya tersebut. Di samping mereka, duduklah seorang
lelaki yang sedang menikmati perjalanan malamnya sambil menyantap makan
malamnya. Sang anak kembali berbicara pada ayahnya, “Ayah, di luar sana sangat
gelap tapi di dalam kereta ini sangat terang benderang, ya.” Sang ayah kembali
tersenyum pada anaknya itu. Matanya menatap haru pada anaknya. Lelaki yang duduk
di sampingnya mulai terasa terganggu akan keberadaan remaja tersebut. Mukanya
terlihat agak kesal.
Hari
semakin malam, lelaki yang duduk di samping mereka itu telah selesai menyantap
makan malamnya. Kini ia berusaha untuk tidur. Namun, ia sangat terganggu karena
anak tersebut terus-menerus mengatakan hal yang seharusnya tidak perlu
dibicarakan. Anak tersebut seolah mengidap gangguan jiwa. “Sepertinya ia
mengalami keterbelakangan mental,” pikirnya. Ia sangat tidak nyaman berada di
dekat kedua orang tersebut.
Malam
pun berlalu, mentari memancarkan sinarnya dari ufuk timur. Cahayanya memasuki
kereta menembus kaca. Sang anak yang sudah terbangun pagi itu berkata seraya
membangunkan ayahnya, “Ayah! Ayah! Lihat! Ada yang bersinar sangat terang.”
Sang ayah terbangun dan melihat ke luar jendela sembari berkata pada anaknya,
“Wah, iya, hari sudah pagi nak.” Sekejap lelaki yang duduk di samping mereka
ikut terbangun. “Dasar orang gila, mengganggu tidur orang saja,” katanya dalam
hati sambil meminum sebotol air.
Matahari
sepenggalah naik. Sang anak masih kembali berkata pada ayahnya, “Ayah, lihat!
Pohon-pohonnya bisa bergerak!” Ayahnya menjawab dengan senyuman tulus, “Iya
nak, mereka terlihat bergerak.” Anaknya terlihat sangat bahagia. Namun di lain
sisi, lelaki yang duduk di samping mereka merasa semakin kesal akan perbuatan
remaja tersebut. Mulutnya berkomat-kamit seolah mengucap sumpah serapah. “Ingin
sekali aku lompat dari kereta ini. Namun rasanya tidak mungkin,” pikir lelaki
tersebut saking tidak kuatnya membendung emosi. Anak tersebut mengucapkan
sebuah kalimat lagi, “Ayah, lihat! Awan nya juga bergerak!” Tanpa sempat
ayahnya menjawab, lelaki yang duduk di samping mereka angkat bicara sedikit
berteriak seolah mengeluarkan amarahnya, “Anakmu itu gila, ya?! Ataukah justru
kau yang tidak bisa mendidiknya?! Mengapa kau tidak membawanya ke rumah sakit
jiwa saja?!”
Suasana
hening seketika. Lelaki tua tersebut menatap padanya sambil terenyum. Matanya
sedikit mengeluarkan air mata. Ia pun berkata dengan lembut, “Maafkan kami. Kami
baru saja pulang dari rumah sakit kemarin malam. Anakku mengidap kebutaan
semenjak ia lahir. Ia baru saja mendapatkan donor mata.”
Lelaki yang tadinya
membenci mereka menitikkan air matanya. Ia tak sanggup mengeluarkan kata-kata
lagi. Ia pun meminta maaf dan menyesal karena ia telah menilai buruk orang lain
sedangkan ia belum pernah mengenalnya.